MahesaMediaCenter, Beltim – Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator yang menggambarkan besaran rupiah dari seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Kabupaten Belitung Timur pada tahun 2022 lalu memang memiliki angka terendah dibandingkan dengan Kabupaten Kota lain se-Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.
Namun dalam mengukur kesejahteraan wilayah indikator yang paling tepat untuk digunakan adalah PDRB per kapita, atau PDRB dalam rupiah dibagi dengan jumlah penduduk.
Berdasarkan rilis data BPS, PDRB Kabupaten Beltim Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) tahun 2022 sebesar 9,785,77 triliyun. Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) sebesar 5,931,76 juta. Data ini berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Beltim melalui Kabupaten Beltim Dalam angka 2023.
Namun jika dilihat lebih detail, ternyata kemajuan atau tingkat ekonomi masyarakat Beltim jauh lebih baik di Provinsi Babel. Karena berdasarkan data yang sama, PDRB ADHK per kapita tahun 2022 Kabupaten Beltim sebesar 45.466,99 juta. Membuat Kabupaten Beltim berada di posisi ke dua di Provinsi Babel, di bawah Bangka Barat yakni 50.333,18 juta.
Sedangkan PDRB ADHB per kapita Kabupaten Beltim tahun 2022 mencapai 75.077,99 juta. Kabupaten Beltim berada di peringkat ke tiga di Provinsi Babel setelah Bangka Barat sebesar 80.031,30 juta dan Pangkal Pinang 76.348,98 juta.
Memang kalau melihat PDRB ADHB dan ADHK, Kabupaten Beltim rendah. Tapi kalau PDRB Per kapita, penduduk Kabupaten Beltim lebih makmur,” kata Kepala Kantor BPS Kabupaten Beltim Izhar kepada Diskominfo Beltim, di Ruang Kerjanya, Senin (26/6/23).
Menurut Izhar, laju pertumbuhan ekonomi atau perkembangan suatu daerah bisa dilihat dari PDRB. Namun tetap besaran PDRB harus dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun atau per kapita.
“Analoginya, PDRB Indonesia lebih tinggi dari Singapura. Namun jika PDRB per kapita, Singapura jauh lebih tinggi,” jelas Izhar yang didampingi Kepala Seksi Integrasi Pengolahan Diseminasi Statistik Syahroni dan Statistisi Felia.
Untuk menghitung nilai PDRB, BPS mengambil data dari sektor 17 lapangan usaha penunjang ekonomi yang ada di suatu daerah. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi menggunakan PDRB ADHK. Untuk mengukur kondisi ekonomi menggunakan PDRB ADHB.
PDRB itu volume produksi barang dan jasa dikalikan dengan harga. Jadi kalau ADHK pengalinya pakai harga 2010, kalau ADHB pakai harga barang jasa sekarang,” terang Izhar.
Ditekankan Izhar jika PDRB tidak bisa diinterprestasikan sebagai cerminan dari kemiskinan di suatu wilayah. Mengingat dua data ini menggunakan cara yang berbeda untuk menghitungnya.
“Kalau data kemiskinan kita ngambilnya dari Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasioanal). Kalau PDRB seluruh sektor nilai tambah,” ujar Izhar.(Ramli).