MahesaMediaCenter, Jakarta – Dalam WA Grup Adharta, Ketum Kill Covid, mengundang untuk bergabung dalam WAG, membela NKRI, Untuk menampung aspirasi politik, Diskusi politik, dan Informaai sekitar politk. Maka di siapkan FGD (Focus Grup Discussion) Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara.
Dalam arti luas, politik adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan di gunakan untuk masyarakat untuk menegakkan peraturan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat Indonesia.
FGD bertemakan “Peran Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendorong Partisipasi Politik di Indonesia ”digelar di gedung Fakultas Hukum UII . Dalam FGD tersebut, Setkab RI diwakili oleh Kepala Bidang Politik dan Organisasi Kemasyarakat, Darmawan Sutanto, didampingi oleh Kepala Subbidang Politik dan Kepala Subbidang Kemasyarakatan Lembaga Negara.
Adapun, PSHK FH UII diwakili oleh, Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H. dan Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana. Keduanya juga merupakan dosen di FH UII. Jamaluddin menyampaikan, partsipasi merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Oleh karena itu untuk mewujudkan partisipasi politik, setidaknya ada tigal hal yang harus diperhatian.
Pertama, harus ada kompetisi dalam arti jabatan-jabatan publik harus dikompetisikan. Kedua, partisipasi dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketiga, kebebasan berpendapat, dalam hal ini pemerintah tidak boleh menghalang-halangi gerakan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat.
Dengan demikian, partisipasi memiliki peranan yang penting, baik bagi setiap individu untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintah agar terhindar dari tindakan penyelewenangan yang dapat merugikan masyarakat, maupun bagi pemerintahan untuk mengukur tinggi atau rendahnya sistem demokrasi di suatu negara.
Dalam pelaksanaannya, menurut Jamaluddin, partisipasi memiliki beberapa jenis dan pola, antara lain: 1) Otonom, yaitu partisipasi yang dilakukan secara sadar dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah,
2) Konvensional, parstisipasi yang dilakukan secara langsung seperti pemilu, pilkada, dll,
3) Non-konvensional, partisipasi yang dilakukan seperti petisi, demokrasi, dan reformasi,
4) Digerakkan, partisipasi yang dilakukan atau digerakkan dalam suatu lembaga yang menggerakkan, salah satunya partai politik (parpol) yang dijadikan lembaga utama dan lembaga sentral untuk mengorganisir warga negara untuk berpartisipasi.
“Bahkan sebagian ahli mengatakan Parpol bila dibandingkan dengan organisasi lain, memiliki kewenangan yang sangat besar utk mengorganisir warga negara. Parpol merupakan institusi sentral dalam negara demokrasi yang diberikan hak eksklusif untuk mengakses kekuasaan, walaupun nanti kita bisa tunjukkan bahwa kondisinya menyedihkan,” ujarnya.
“Bahkan sebagian ahli mengatakan Parpol bila dibandingkan dengan organisasi lain, memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengorganisir warga negara. Parpol merupakan institusi sentral dalam negara demokrasi yang diberikan hak eksklusif untuk mengakses kekuasaan, walaupun nanti kita bisa tunjukkan bahwa kondisinya menyedihkan,” ujarnya.
Terakhir, Jamaluddin mengusulkan ada dua cara untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui Parpol, yaitu: Pertama, dengan meniru model Amerika, dimana Dewan Petinggi Parpol berkedudukan sebagai manager. Ia hanya mengatur soal internal paprol, tetapi tidak ikut campur dalam kekuasaan publik. Sehingga, harus ada pemisahan antara siapa yang fokus ke pejabat publik dan siapa yang fokus untuk mengurus internal Parpol.
Kedua, meniru model Eropa, dimana Ketua Umum Perpol tetap memiliki kekuasaan penuh, namun harus ada prosedur suksesinya yang diatur dalam UU, meliputi:
1) Pencalonan, minimal harus ada dua calon dalam proses pemilu, tidak dibolehkan ada calon tunggal. 2) Pemilih, harus dilakukan oleh yang berhak, yaitu anggota Parpol.
3) Mekanisme Pemilihan, Pemilihan harus tegas dilakukan dengan pemilihan langsung, tidak boleh aklamasi, dan
4) Ada Pembatasan Masa Jabatan Pimpinan Parpol, harus diatur terkait pembatasan masa jabatan Pimpinan Parpol. Selanjutnya, Allan Fatchan menyampaikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1) Electoral Activity, yaitu aktivitas Ormas untuk mengorganisir masyarakat, seperti banyak para pemimpin Ormas yang berlomba untuk mencari massa.
2) Lobbying, yaitu kegiatan Ormas untuk melakukan lobby ke pemerintah, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan. Dan
3) Organizational Policy Making dan Social Empowering, yaitu kegiatan Ormas untuk mengawal pembuatan kebijakan pemerintah dan agenda politik pemerintah.
“Banyak yang berpikir bahwa politik hanya soal kekuasaan, padahal lebih dari itu. Esensi politik kan sebenarnya adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Allan Fatchan menyampaikan, definisi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun terkait tujuan dan fungsi Ormas hal ini telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Ormas. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga telah memberikan kebebasan dan melindungi kedudukan Ormas. Namun, permasalahannya bukan dalam segi pengaturan, melainkan dari kemauan Ormas itu sendiri untuk mau berkiprah turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.
“Ketika kami mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP), kata Allan Fatchan terkait Peraturan Daerah (Perda) tertentu, jarang ada Ormas yang hadir. Tapi kalau perda yang mengatur mengenai bantuan keuangan Ormas, datang semua. Tapi kalau soal isu-isu lingkungan, tata ruang, tidak ada satupun yang hadir, daftar hadir kosong,” ujarnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Allan menyebutkan beberapa gagasan yang dapat dilakukan Ormas untuk turut berpartisipasi aktif dalam negara demokrasi, yaitu: 1) Ormas harus turut aktif dalam perubahan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan advokasi, mengekspresikan gagasan melalui forum media, diskusi, dan ruang publik lainnya.
Makna bela negara, NKRI harga mati : (Nur Syam Guru Besar dan mantan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya). Masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural tentu harus berterima kasih yang tidak terhingga pada para pendiri bangsa.
Pandangan para pendiri bangsa yang futuristik dalam melihat Indonesia ke depan adalah contoh betapa hebatnya para pendiri bangsa itu. Kita masih bisa menyaksikan Indonesia yang bersatu dengan kehidupan negara dan bangsa yang aman adalah karena pilihan sangat cerdas pada pendiri bangsa (founding fathers) negeri ini yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan individu dan golongan.
Suatu teladan yang sangat luar biasa bagi generasi sekarang dan yang akan datang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan (Bhineka Tunggal Ika) sebagai pilar kebangsaan. Pancasila menjadi common platform bagi bangsa ini untuk merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Kita tidak bisa membayangkan andaikan negeri ini berdasar atas isme-isme lain, baik isme yang diturunkan dari agama, atau isme sosial ekonomi dan politik yang berbeda dengan Pancasila.
Sungguh pilihan para pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan bukan yang lain merupakan warisan yang tidak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia. Jika ada orang yang menginginkan dasar negara selain Pancasila sebaiknya tidak usah menjadi warga negara Indonesia.
Dewasa ini ada sejumlah eksponen bangsa yang berpikir dalam corak yang berbeda. Diantaranya yang terpengaruh ideologi trans-nasional, baik berbasis agama (misalnya khilafah), ideologi sosialisme (misalnya gerakan New Left), dan ideologi liberalisme (misalnya gerakan kebebasan).
Di sisi lain juga terdapat kelompok atau golongan yang tetap setia pada NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka adalah sekelompok warga negara yang sangat sadar bahwa masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural tidak bisa menggunakan bentuk negara lain selain NKRI dan dasar negara selain Pancasila.
Gerakan untuk mendirikan khilafah di Indonesia yang diprakarsai oleh HTI di masa lalu, tetap eksis hingga hari ini. Tidak lagi menggunakan HTI karena sudah dibubarkan oleh pemerintah, kemudian menjadi organisasi yang tidak berbentuk tetapi masih eksis paham khilafahnya. Mereka bisa memasuki organisasi yang masih eksis atau memasuki organisasi tidak berbentuk dengan tetap mengajarkan dan mentransformasikan ideologi khilafah bagi orang atau kelompok lain.
Secara sosiologis, ada teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan tentang identity and symbolic boundaries, bahwa pada saat terdapat sekelompok orang, kelompok dan lain dianggap sebagai yang lain atau dikecualikan, maka di sinilah identitas itu eksis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Michele Lamont (Culture and Identity) menawarkan teori status multifacet yang berpusat pada hubungan antara berbagai standar evaluasi diri — misalnya moralitas dan status sosial ekonomi—dalam repertoar nasional.
Berdasarkan teori ini, maka bisa dipahami bahwa upaya untuk membela negara melalui berbagai cara, termasuk sumpah setia atau janji setia adalah upaya untuk memberikan ketegasan tentang identitas diri dalam relasi dengan kelompok lain. Simbol yang digunakan adalah baiat, sumpah setia atau janji kesetiaan, dan nyanyian heroik untuk membangkitkan semangat perlawanan atas kelompok lain yang akan merongrong atas NKRI tutup Nur Syam ex Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya ini.( Ring-o)