MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Jakarta – “Pernyataan Menteri Kehutanan RI : Akan Membuka 20 juta Hektare Hutan Untuk Kepentingan Energi dan Pangan”. ). pernyataan serius ini perlu dicermati. Sekian banyak sudah janji-janji dari agenda pembukaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Faktanya pemerintah pusat tidak pernah benar-benar berhasil menunaikan janjinya.
Ada banyak lahan untuk lumbung pangan sudah dibuka, tapi di mana letak keberhasilan dan dampaknya bagi rakyat? Membuka lahan hutan 20 juta hektar yang luasnya melebihi 2 kali Pulau Jawa menurut ilustrasi Kompas.com adalah ancaman terhadap lingkungan dan masa depan bangsa ini.
Saya mendukung lumbung pangan dari dulu di Kalimantan Tengah, kata Dr. Agustin Teras Narang, Anggota MPR RI./ DPD RI, Dapil Kalteng. dengan alasan agar bekas Proyek Lahan Gambut sejuta hektar yang digagas Presiden Suharto dulu, bisa diberdayakan. Agar kerusakan yang kadung terjadi beberapa dekade lalu, bisa diperbaiki dan mendatangkan manfaat bagi rakyat. Itu sebabnya saya mendukung food estate atau lumbung pangan dilanjutkan dengan intensifikasi Ujar Agustin.
Mengoptimalkan lahan yang dikuasai Petani, sehingga meningkat produktivitasnya dan naiklah penghasilannya. Jadi tidak perlu rasanya membuka lahan baru lagi, apalagi sampai membabat hutan dengan alasan pangan, tambah Dharmawan lagi. Berdayakan jutaan hektar lahan yang sudah ada dicanangkan dari pemerintahan sebelum-sebelumnya dan buktikan keberhasilannya, termasuk program-program yang konon katanya ada di Kalimantan Tengah. Kami minta pemerintah pertanggungjawabkan secara transparan perkembangan maupun hasilnya, agar tidak jadi gimmick semata.ujar Agustin Teras Narang.
Saya dari dulu lanjut Agustin lagi, saya sampaikan tentang pentingnya pemberdayaan para petani dan mengoptimalkan lahan yang telah mereka garap dan kuasai. Dorong modernisasi penyuburan tanah, pemilihan bibit, tata cara penanaman, pemberian pupuk, tata cara pemanenan, dan penjualan beras, harus dilakukan dengan baik dan benar, serta berkeadilan sambung Agus Teras Narsang lagi.
Pada prinsipnya konsep food estate yang dulu dijanjikan di Kalimantan Tengah dengan modernisasi pertanian dan kawasan terintegrasi dengan hilirisasi pertanian, mestinya diwujudkan.
Selanjunya Alih-alih membabat hutan baru kata Dr. Agustin Teras Narang, Anggota MPR RI./ DPD RI ini, fungsikan lahan hutan yang kadung dibabat untuk agenda yang sama dan tunjukkan komitmen. Alih-alih menimbulkan ancaman lingkungan yang tak terkendali, sebaiknya Menteri Kehutanan evaluasi status kawasan hutan di Kalimantan Tengah yang banyak merugikan masyarakat. Banyak desa hingga kantor pemerintahan di Kalimantan Tengah berstatus kawasan hutan, meski faktanya tidak demikian.
Lantas muncul Surat terbuka Prof Arya Hadi Dharmawan, ahli kehutanan IPB,seperti berikut : ( dikutip dari Laudato si Indonesia)
“Pak Prabowo, Anda jangan begitu dong Pak sebagai Presiden. Statement Pak Presiden yang mengatakan “jangan takut deforestasi”, dan lalu menyamakan sawit sepadan dengan tanaman hutan lain hanya karena sama-sama berdaun hijau dan menyerap karbon, itu mengusik saya, Pak. Sungguh saya risau dengan statement tersebut.
Apa itu Devorestasi ?
Devorestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah Kegiatan Penebangan Kayu komersil dalam skala besar. Bisa juga diartikan: Kegiatan penebangan atau pemindahan pohon secara sengaja dan permanen untuk mengubah kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan.
Devorestasi dapat menyebabkan :
1. Ancaman bagi alam ,satwa liar dan iklim
2. Penurunan kwalitas
3. Perubahan iklim, Erosi Tanah
4. Bencana alam
Dharmawan melanjutkan surat terbukanya, Kalau sekedar berdaun hijau dan menyerap karbon, maka pohon kelor juga berdaun hijau dan menyerap karbon pak.
Kita tak sedang bicara karbon saja ketika membahas hutan pak. Tulis Dharmawan dalam surat terbukanya kepada Prabowo.
Ulangi, hutan itu tak melulu soal karbon pak, tetapi lebih besar dari hal itu, sehingga deforestasi (juga degradasi hutan) – deforestation and forest degradation – harus menjadi keprihatinan presiden juga.
Bukan hanya keprihatinan saya saja pak.
Kita harus menyelamatkan hutan, dan tidak membiarkan ekspansi pertanian semau-maunya terjadi.
Hutan dengan aneka pohon dan tetumbuhannya mempunyai fungsi yang tak bisa digantikan oleh perkebunan sawit.
Hutan menjaga aneka satwa liar (rusa, orang utan, pelanduk, harimau, gajah, kera, monyet, burung-burung, sampai semut, cacing, dsb).
Hutan menyediakan aneka tumbuhan termasuk herbal (tanaman obat) bagi kehidupan. Hutan menjaga tatanan air (hidrologi) agar terjadi kehidupan yang seimbang dan lebih baik. Hutan juga memberikan naungan kehidupan bagi masyarakat adat di dalamnya.
Sementara perkebunan sawit adalah ekosistem dengan tanaman seragam (mono-cropping) yang tak memungkinkan aneka satwa bisa hidup kecuali ular kobra, tikus dan burung hantu. Pendek kata tak selengkap satwa di hutan belantara. (Walau bapak berseloroh), menganggap sawit punya daun yang sama dengan pohon lain di hutan, tetapi itu seloroh yang tak seharusnya diucapkan. Secara fisik ya daun pasti hijau.
Tetapi simplifikasi bahwa (ekosistem) sawit hanya karena berdaun hijau lalu sepadan dengan (ekosistem) hutan, ya kurang bijaksanalah pak. Ini nggak apple to apple pak Presiden.ujar Hadi Dharmawan.
Perkebunan sawit itu mengabdi pada kepentingan kapital dan investasi ekonomi. Sawit itu demi nilai rupiah Rp 400 Trilyun per tahun, pendapatan bagi Indonesia. Saya setuju. Tetapi, apakah hidup ini harus disimplifikasi hanya soal uang dan uang saja pak? tanya Hadi Dharmawan
Disini kita beda pendapat pak. Uang itu penting, tapi hidup tak hanya soal uang. Ada pepatah mengatakan sambung Dharmawan “ketika tetesan air terakhir telah anda minum dan tak tersisa lagi di alam, maka trilyunan rupiah uang di saku dan dan di saldo bank anda, tiada gunanya”. Hutan itu mengabdi pada kepentingan kelestarian alam (sistem ekologi) dan kehidupan sosial (warga di dalam dan di sekitar hutan).
Saya jamin, pak Presiden termasuk menteri bapak, tak akan pernah bisa menilai berapa milyar-trilyun rupiah nilai manfaat kehadiran satwa liar di hutan, berapa milyar-trilyun rupiah nilai air yang ditangkap dari hujan dan disimpan di akar tetumbuhan hutan, berapa milyar-trilyun rupiah nilai oksigen yang tiap saat keluar dari dedaunan di hutan, juga anda tak akan bisa menghitung berapa trilyun rupiah nilai obat-obatan herbal yang disediakan hutan. Saya jamin, anda tak akan mampu menilainya. Sayapun juga tak mampu. Tetapi kita bisa meraba dan merasakan manfaatnya.
Ayo pak Presiden, saya mengajak menteri-menteri bapak untuk berdiskusi lebih intensif dengan banyak kalangan ahli kehutanan, ahli ekologi, ahli sosiologi, ahli antropologi, di negeri ini. Kita bisa berbagi ilmu pengetahuan dan pandangan. ekologi, ahli sosiologi, ahli antropologi, di negeri ini. Kita kembangkan sawit untuk pangan dan energi, tetapi tanpa harus membabat dan mengokupasi kawasan hutan.
Pak Presiden, anda harus anti terhadap deforestasi dengan segala dampak negatifnya pak. Jangan sebaliknya. Nanti kita bisa dikucilkan oleh dunia internasional pak. Kita dianggap negara aneh jika menganjurkan deforestasi. Mari kita sama-sama menyelamatkan hutan pak. Menyelamatkan alam adalah perintah agama (QS. Al-Baqarah ayat 205) dan perintah UUD 1945 juga.
Mari pak kita hentikan deforestasi. Kita hentikan penggundulan hutan, karena akibatnya langsung pada terjadinya bencana banjir, pemanasan global, kehilangan spesies tumbuhan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan bencana kemanusiaan berupa hilangnya penghidupan masyarakat lokal. Mari kita menjadi bijak penuh kebajikan pada alam”.tutup Prof Arya Hadi Dharmawan ahli Kehutanan IPB. (Ring-o)