MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Jakarta – Penggusuran adalah suatu tindakan merobohkan bangunan yang telah dibangun sebelumnya yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan beberapa sebab misalnya : Untuk merapikan dan menata ulang kembali suatu tempat atau wilayah. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Penggusuran merupakan suatu kegiatan penyediaan tanah yang akan digunakan sebagai penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan cara memberikan ganti rugi yang adil dan memiliki hak. Pihak yang memiliki hak dalam ganti rugi adalah yang menguasai atau memiliki objek tanah.
Didorong oleh keprihatinan atas konfik lahan di Sikka NTT tersebut, saya Ringo Jurnalis pusat Media Suara Mabes (MSM), mempublikasikannya ke MSM ini , Petikannya :
Dilansir dari Floresa.co (24 Januari 2025 ) – “Saya minta ganti itu nama Kristus Raja. Jangan bawa Kristus yang kami imani sebagai bahan jualan.” Kata Antonius Toni dengan nada geram saat menceritakan penggusuran rumahnya dan warga lain dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Kabupaten Sikka, NTT pada 22 Januari2025.
Rumah Anton termasuk salah satu yang luluh lantah oleh alat berat yang dibawa PT Kristus Raja Maumere, perusahaan milik Keuskupan Maumere yang juga dikenal sebagai PT Krisrama.
“Tindakan PT Krisrama itu sangat anarkis dan tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik,” kata warga Suku Soge tersebut.
Anton sedang berada di Kantor Pengadilan Negeri Sikka NTT saat mendengar kabar bahwa rumahnya sudah rubuh. Ia makin panik setelah kerabatnya memberitahu bahwa isterinya, Katarina Ulin, (51), mengalami luka terkena reruntuhan. “Saya langsung pulang,” kata Anton ( 59) kepada Floresa.co, “tetapi bertemu di jalan dengan keluarga yang mengantar istri saya ke rumah sakit kata Anton.”
Istrinya sedang bersama beberapa warga lain yang bertamu ke rumah mereka di Utan Wair, Desa Nangahale ketika segerombolan orang datang,yang menurut Anton itu sebagai “sewaan PT Krisrama.” merangsek masuk dan membawa eksavator melalui halaman pada pukul 09.30 Wita ujar Anton. “Mereka masing-masing memakai ikat kepala dan lengan dari kain berwarna merah-putih, sambil membawa serta parang, palu dan linggis.”
Gerombolan itu sambung Anton lagi, dipimpin oleh Romo Robertus Yan Faroka (?), Direktur Pelaksana PT Krisrama. Aparat keamanan muncul belakangan, mengawal proses penggusuran.
Saat tiba di lokasi, lanjut dia lagi, eksavator langsung disandarkan di atap, menyusul perintah agar semua orang yang berada di dalam rumah segera keluar.
Anton menirukan ucapan isterinya kepada operator alat berat itu : “Saya tidak mau keluar, ini rumah yang saya bangun dengan susah payah dan keringat darah.”
“Isteri saya juga merasa sangat takut untuk keluar meskipun rumah sudah goyang, karena di sekeliling rumah sudah ada orang-orang yang membawa parang panjang,” katanya.
Anton yang juga kebetulan sebagai Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Flores Bagian Timur itu mengatakan , reruntuhan rumah tersebut mengenai kaki kanan istrinya hingga luka. Selain itu, Katarina Keron dan Yakobus Juang, dua warga lainnya yang sedang bertamu di rumah itu juga mengalami luka pada kaki.
Penggusuran itu merubuhkan sekitar 120 rumah, kata Anton. Dua unit berada di Utan Wair, lebih dari seratus unit di Pedan, Desa Nagahale dan lima unit di Wair Hek, Desa Likong Gete.
“Tanaman yang hancur tidak terhitung sangkin banyaknya. Ada padi, jagung, jambu mete dan pisang.”
Selain digusur dan ditebang, jagung dan pisang “dibawa pulang oleh preman-preman itu kata Anton.”
Sementara itu Kepala Suku Soge, Ignasius Nasi mengisahkan penggusuran itu terjadi saat isterinya sedang sakit. Ia berkata Romo Yan Faroka sempat saya dekati, mengusulkan untuk memfasilitasi isterinya ke rumah sakit dengan mobil ambulans, tetapi ditolak romo, ujar Ignatius Nasi .
Ignatius Nasi mengatakan saya mendekati Romo Yan Faroka mengusulkan untuk memfasilitasi isterinya ke rumah sakit dengan mobil ambulans, tetapi ditolaknya.
Sementara dia berdebat dengan Romo Yan, katanya, “dia punya kelompok yang pakai ikat kepala kain merah dan di tangan warna kuning, sudah mulai dengan linggis dan palu pukul tiang teras, tiga-tiganya, termasuk tiang sudut. mereka sudah putuskan . Dinding semuanya sudah rubuh ke tanah.”
“Lalu ada yang masuk, buka pintu, mama di dalam sudah pingsan, lalu saya angkat anak keluar [rumah] dalam keadaan pingsan. Terpaksa saya punya anak yang bawa mama mereka ke rumah sakit,” katanya.
Ricky Fernandes, (25), warga adat Suku Soge berkata, ada ratusan aparat gabungan Polisi, TNI dan Polisi Pamong Praja yang berjaga-jaga.
“Ada dua unit kendaraan Sat Pol Pamong Praja (satpol PP) , tentara tiga mobil, ditambah polisi,” katanya.
Penggusuran itu membuat sekitar 200 orang terpaksa tinggal di sekitar bekas reruntuhan rumah mereka untuk bermalam. Sebagian membangun tenda darurat dari terpal dan kayu.
Dalam beberapa video yang diperoleh Floresa, selama penggusuran, warga yang didominasi perempuan, melakukan protes dengan mengadang alat berat. Ada juga yang memilih memakan tanah, upaya untuk mencegah penggusuran berlanjut.
“Inikah perbuatan orang kudus?” teriak seorang perempuan, diiringi tangisan rekan-rekannya.
Anton telah melaporkan kejadian tersebut ke Polres Sikka, yang direspons dengan permintaan untuk mengumpulkan data-data korban, termasuk rumah dan tanaman yang hancur.
Peristiwa ini telah memicu kecaman luas terhadap Keuskupan Maumere, berikut para imam Katolik yang juga hadir di lapangan selama penggusuran.
Sembilan puluh dua organisasi advokasi dan pemerhati masyarakat adat yang bergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria dalam sebuah pernyataan pada 23 Januari menyebut perusahaan melakukan tindakan “brutal.”
“Langkah ini sungguh ironis, sebab perusahan itu dimiliki oleh Keuskupan Maumere yang seharusnya melindungi masyarakat dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan,” kata mereka.
Mereka juga mengkritisi pemerintah yang seolah-olah “tutup mataatau diam atas tindakan kejahatan agraria yang dilakukan oleh pihak perusahaan.”
“Padahal, tidak sekali dua kali pihak perusahaan melakukan aksi sepihak menggusur masyarakat, termasuk tindakan-tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat,” kata mereka.
Maximilianus Herson Loi, Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menyoroti secara khusus keterlibatan para imam Katolik dalam peristiwa ini.
“Seharusnya klerus tampil sebagai pelindung umatnya dari ancaman penggusuran dan kriminalisasi,” katanya.
Ia juga mengecam aparat keamanan yang justru menjadi pengayom dan pelindung perusahaan.
“Apa karena masyarakat adat tidak punya uang sehingga tidak pantas untuk dilindungi?” Tanya Herson Loi.
Peristiwa pada 22 Januari itu, hanyalah salah satu dari rentetan konflik sebelumnya antara warga dua suku yang mendiami Kecamatan Talibura itu dengan Keuskupan Maumere terkait lahan seluas 868.730 hektare.
Ricky Fernandes berkata, ini adalah konflik terbuka yang ketiga setelah sebelumnya perusahaan melakukan penggusuran dan penebangan tanaman warga pada 2021 dan tahun lalu.
Penggusuran pada Juli 2024, kata dia, diprotes warga dengan mencabut papan nama perusahaan itu.
Aksi warga direspons PT Krisrama dengan melaporkan delapan warga yang dituduh melakukan pengrusakan. Mereka tengah dalam proses persidangan.
Antonius Toni berada di Pengadilan Negeri Sikka saat penggusuran pada 22 Januari untuk mendampingi delapan warga itu.
Floresa.co menghubungi Uskup Maumere, Msgr. Edwaldus Martinus Sedu yang sekaligus Komisaris Utama PT Krisrama pada 23 Januari, menanyakan alasan penggusuran itu.
Ia meminta Floresa menghubungi Romo Epy Rimo, Direktur Utama PT Krisrama, beralasan ia sedang mengikuti acara pentahbisan Uskup Surabaya di Jawa Timur.
Epy, yang berbicara kepada Floresa pada 23 Januari berkata, lahan konflik itu awalnya dimiliki Perusahaan Kolonial Belanda Amsterdam Soenda Compagni, dengan luas 1.438 hektare.
Pada 1926, lahan itu dibeli oleh Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden, istilah dalam bahasa Belanda untuk Vikariat Apostolik Ende, lembaga dalam Gereja Katolik untuk wilayah otoritas satu tahap sebelum pembentukan keuskupan.
“Pada 16 Desember 1956 Vikariat Apostolik Ende melepaskan sebagian tanah dengan luas 783 hektare kepada Pemerintah Swapradja Sikka untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana termuat dalam Surat VAE No. 981/V/56,” katanya.
Pada 1972, PT Diag, perusahaan milik Keuskupan Agung Ende mengajukan hak kepemilikan atas lahan itu.
Pada 5 Januari 1989 PT Diag mendapat Hak Guna Usaha [HGU] dari Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk periode 25 tahun yang berakhir pada 31 Desember 2013.
“Pada diktum ketiga huruf F dinyatakan bahwa HGU dimaksud dapat diperpanjang dengan jangka waktu 25 tahun,” jelasnya.
Dalam perjalanan waktu, kata Epy, warga mulai menduduki lahan itu, yang bermula pasca bencana tsunami di Sikka pada 1992. Pengungsi dari Pulau Babi dan sekitarnya diberikan lahan seluas 29 hektare untuk pemukiman.
“Dasarnya adalah demi kemanusiaan semata,” katanya.
Pada 2005, lahan tersebut dialihkan ke Keuskupan Maumere, bersamaan dengan pembentukannya sebagai keuskupan baru di Flores. Keuskupan itu kemudian membentuk PT Krisrama.
Epy berkata, pasca berakhirnya HGU pada 2013, warga terus menduduki lahan tersebut saat PT Krisrama mengajukan permohonan perpanjangan HGU.
PT Krisrama kemudian mengantongi SK perpanjangan HGU dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi NTT pada 28 Agustus 2023.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 543 hektare dikembalikan kepada negara dan “hanya 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama,” kata Epy.
Sejak mendapat HGU, “kegiatan yang perlu kami lakukan adalah pembersihan lokasi sesuai dengan bagian dari tuntutan kami mendapatkan hak” dan hal itu “sudah direncanakan sejak lama.”
Namun, jelasnya, rencana itu selalu ditunda karena Polres Sikka memberi berbagai alasan, mulai dari Pemilu 2024, Pilkada Serentak pada November, Natal dan Tahun Baru dan alasan pergantian Kapolres.
Ia mempersoalkan berbagai alasan itu, termasuk pergantian Kapolres Sikka yang disebutnya sebagai “alasan internal” yang mengorbankan perusahaan.
Padahal, kata dia, mereka hanya punya waktu dua tahun untuk mulai mengolah lahan itu.
“Kami sudah memberi waktu toleransi satu setengah tahun,” katanya.
Ia menyebut, sebelum peristiwa 22 Januari, pihaknya “sudah melalui prosedur yang berlaku, dimulai dari pengumuman di gereja, pengumuman oleh pemerintah daerah, pendekatan dari orang perorang, dan somasi hukum.”
Ia juga mengaku telah mengimbau warga dan menggelar sosialisasi untuk membongkar rumah secara mandiri.
Epy mengklaim tindakan perusahaan tersebut bukan penggusuran, melainkan ‘pembersihan’ terhadap “okupan yang masih berada di dalam lokasi.”
“Kami sama sekali tidak ada persoalan dengan siapa pun, hanya bahwa ada satu dua rumah yang masih ada di dalam lokasi HGU, yang sebelumnya berdasarkan janji pemerintah, mereka direlokasi oleh pemerintah,” katanya.
Ia berkata durasi waktu yang sangat minim membuat perusahaan itu mengambil keputusan untuk tidak menunggu pemerintah, “tapi kami mau bersama pemerintah sebagai mitra” untuk bersama-sama merelokasi warga.
Pembersihan lokasi itu “untuk peremajaan pohon kelapa yang usianya sudah tua.”
“Kami diberi hak untuk mengembangkan bisnis perkebunan kelapa di sini,” lanjutnya.
Terkait protes berbagai pihak, termasuk warga, klaimnya, “kegiatan kami 99 persen berjalan dengan baik, dan tanpa ada benturan berarti.”
“Memang ada provokasi dari luar, tapi kami sadar untuk membersihkan lokasi dan tidak menanggapi itu semua,” katanya.
Terkait langkah lanjutan pasca penggusuran, pihaknya akan melakukan “koordinasi ke dalam”, termasuk dengan “Kapolres dan pejabat-pejabat terkait untuk menghindari benturan-benturan yang tidak perlu.”
“Apalagi ini umat kita. Mereka mungkin belum sadar,” katanya.
Penggusuran Dinilai Tanpa Dasar Hukum
John Bala, Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang berbasis di Sikka dan selama ini mendampingi warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai mempersoalkan klaim Epy.
Ia menuding PT Krisrama melakukan pembohongan saat mengurus HGU, dengan mengklaim telah melepaskan sebagian tanah HGU kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka dan kepada warga.
Dengan dasar klaim itu, katanya, HGU diterbitkan, sebab “dianggap tidak ada masalah lagi di lapangan.”
Faktanya, kata dia, wilayah HGU PT Krisrama seluas 325 hektare mencakup lahan yang sudah ditempati warga sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
“Misalnya, rumah-rumah yang digusur di Pedan itu adalah tanah yang sudah ditempati oleh warga, tetapi PT Krisrama bersama Badan Pertanahan justeru menetapkan itu sebagai bagian dari HGU,”
Sementara lahan seluas 543 hektare, yang dalam bahasa Epy disebut dikembalikan ke negara, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini.”
Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.
Karena itu, ia mempersoalkan penggusuran sebagai tindakan yang dilakukan tanpa dasar hukum.
Apalagi, pelaku menggunakan parang, hal yang “dilarang berdasarkan Undang-undang Darurat, tetapi dibiarkan saja oleh aparat keamanan.”
Ia juga mengkritisi istilah pembersihan yang dipakai Epy.
Pembersihan lahan adalah “tindakan membersihkan tanaman untuk penanaman baru atau monokultur, biasanya dalam konversi hutan menjadi perkebunan,” kata John.
Istilah itu, jelasnya, tidak dapat dipakai untuk tindakan penggusuran rumah warga atau fasilitas lainnya sebagai konsekuensi dari produk hukum.
Penggusuran yang dilakukan PT Krisrama “adalah tindakan kekerasan, yang disederhanakan dengan pembersihan.”
Dalam kasus ini, kata John, karena ada penguasaan dan keberatan dari pihak lain, yaitu warga, maka menurut peraturan perundang-undangan, pemegang SK HGU hanya bisa melakukan dua hal, yakni “mediasi di luar pengadilan atau gugatan perdata terkait perbuatan melawan hukum.”
PT Krisrama, kata dia, “perlu memastikan di pengadilan apakah penguasaan lahan oleh warga itu punya alas hak atau tidak.”
Berdasarkan diktum keenam dalam SK HGU, kata John, PT Krisrama juga seharusnya memposisikan warga sebagai “keadaan di mana terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan dan atau kepemilikan pihak lain yang terjadi setelah HGU keluar.”
“Maka, perusahaan itu wajib menyelesaikan masalah itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak ada satu poin pun yang menyebut penggusuran.”
Diktum keenam dalam SK HGU tersebut yang dimaksud John berbunyi: “Apabila di atas bidang tanah yang diberikan HGU terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan dan/atau kepemilikan pihak lain yang timbul di kemudian hari, maka penerima hak wajib menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ia menjelaskan, penyelesaian masalah sesuai ketentuan undang-undang merujuk pada mediasi di luar pengadilan atau gugatan hukum terhadap warga yang masih menduduki lahan.
“Selama ini tidak pernah ada proses peradilan itu setelah keluar SK HGU. Tiba-tiba perusahaan melakukan penggusuran,” katanya.
“Apakah pembersihan atau penggusuran itu adalah cara penyelesaian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam diktum keenam SK HGU PT Krisrama?” tanya John.
Prosedur Dialog Selalu Gagal.
Terkait klaim Epy yang mengatakan telah melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada warga, John berkata setelah mendapat HGU pada 2023, Keuskupan Maumere memang menempuh beberapa cara, mulai dari pengumuman di gereja hingga somasi terhadap warga.
“Lalu mereka berpendapat ketika semua itu dilakukan dan masyarakat tidak keluar [dari lahan], artinya mereka boleh gusur? Itu pikiran sesat,” katanya.
John mengatakan hingga kini pihaknya terus mengupayakan dialog dengan Keuskupan Maumere, “karena kami menghormati/menghargai institusi gereja.”
Namun, “selama proses ini, Keuskupan Maumere selalu menghindar dan memandatkan persoalan kepada pemerintah daerah. Mereka tidak mau bertemu warga secara langsung.”
Padahal, kata dia, sudah terdapat dua Peraturan Bupati Sikka terkait penyelesaian konflik ini.
Pertama Perbup Nomor 144/Hukum/2016 tentang Identifikasi dan Verifikasi Masyarakat Tana Ai yang Berada di Tanah Bekas HGU Nangahale..
Panitia yang ditunjuk untuk penyelesaian kasus itu, lanjut John, antara lain pemerintah daerah, DPRD, dan lima orang perwakilan masyarakat “untuk menjadi tim identifikasi dan verifikasi.”
Peraturan lainnya adalah SK Bupati Nomor 134/Hk/2020 tentang Tim Terpadu Penyelesaian Permasalahan HGU Nangahale.
“SK itu dijalankan hanya sampai tahap pengambilan peta eksisting dan presentasi peta pun gagal. Padahal, harus ada tahap perundingan, penetapan hasil perundingan dengan SK Bupati dan mengantarkan hasil perundingan ke Badan Pertanahan untuk ditetapkan.”
Kegagalan tersebut terjadi karena “tidak ada keseriusan untuk melibatkan masyarakat dalam proses ini.”
Sementara itu, di tengah proses tersebut, kata dia, pada 27 April 2021, tiba-tiba Bupati Sikka, Roby Idong dan Uskup Maumere pergi ke Jakarta untuk mengajukan HGU baru.
“Itu mengabaikan seluruh proses yang sudah mereka presentasikan pada 30 September dan 1 Oktober 2020,” katanya.
Konflik lahan HGU Nangahale seharusnya sudah selesai, kata John, jika proses-proses itu dihargai dan dilanjutkan, “tapi prosesnya tidak berjalan.”
“Warga pasti tetap bertahan. Penggusuran ini tidak berdasarkan hukum tetapi kekuasaan dan jaringan yang lebih kuat,” ungkapnya.
Dari tempat tinggal sementara di Sikka, Antonius Toni berkata, apa yang mereka alami merupakan “tindakan yang tidak manusiawi” dan “perlu diperhatikan oleh semua pihak.”
Sebagai penganut Katolik, ia kecewa karena Keuskupan Maumere telah menggunakan “ Kristus Raja” sebagai nama perusahaan yang menggusur umatnya sendiri.
“Ini tidak sesuai dengan visi dan misi gereja,” katanya.
Ia pun berharap Uskup Maumere, Msgr. Edwaldus Martinus Sedu dan para imamnya, “bertindak jujur.”
“Uskup dan para pastor coba kembalilah ke jalan yang benar. Jangan menempuh cara anarkis seperti ini,” kata Epy. (Ringo)