Kontroversi Tanah Waris Kampung Petrus di Huta Toruan IX Simaung-maung – Tarutung: Antara Sewa Menyewa dan Sengketa Kepemilikan

MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Tarutung Sumut – Kasus sengketa tanah di Kampung Petrus, Huta Toruan IX Simaung-maung, Tarutung, telah menjadi sorotan publik. Bermula dari persoalan sewa menyewa sebuah kedai, kasus ini berkembang menjadi sengketa kepemilikan yang melibatkan dua pihak, Hendrico Lumban Tobing dan keluarga keturunan Kampung Petrus.

Hendrico Lumban Tobing awalnya menyewa sebuah kedai dari Poltak Lumbantobing. Belakangan, terungkap bahwa kedai tersebut ternyata berada di atas tanah warisan Kampung Petrus. Merasa tidak bersalah dan tidak mengetahui status tanah tersebut, Hendrico kemudian terlibat dalam perkara hukum.

Pada awalnya, Hendrico memenangkan perkara di Pengadilan Negeri Tarutung. Namun, putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung. Hendrico merasa tidak mendapatkan keadilan karena berdasarkan data dan fakta yang ada, kedai yang ia sewa memang termasuk dalam hamparan tanah waris keturunan Kampung Petrus.

Kasus ini kemudian berlanjut dengan Hendrico sebagai tergugat dalam kasus yang sama, di mana Posma Lumban Tobing, yang mengaku sebagai cucu langsung dari keturunan anak kedua Kampung Petrus, mengajukan gugatan.

Kasus ini diwarnai sejumlah kejanggalan. Awalnya, Hendrico dilaporkan oleh Poltak Lumbantobing ke Pengadilan Negeri Tarutung atas persoalan sewa menyewa yang kemudian berubah menjadi persoalan hak kepemilikan. Poltak mengklaim bahwa kedai tersebut adalah warisan dari kakek mereka.

Namun, Hendrico memberikan keterangan kepada media bahwa kakek Poltak dan keluarga hanya diizinkan untuk tinggal di wilayah tersebut agar wilayah itu menjadi ramai, bukan sebagai hak milik. Seiring berjalannya waktu, keluarga tersebut merasa memiliki hak atas tanah tersebut karena merasa kakek dan orang tua mereka telah lama tinggal di sana.

Kasus ini mencerminkan kompleksitas persoalan agraria di Indonesia, di mana tumpang tindih kepemilikan dan kurangnya kepastian hukum seringkali menjadi pemicu konflik. Dalam kasus ini, ketidaktahuan Hendrico mengenai status tanah menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mengklaim kepemilikan.

Selain itu, kasus ini juga menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan dalam proses hukum. Hendrico, yang awalnya hanya seorang penyewa, harus menghadapi proses hukum yang panjang dan berliku, bahkan setelah memenangkan perkara di pengadilan tingkat pertama.

Herwin MT Sagala, Koordinator Wilayah (Korwil) Generasi Sosial Peduli Indonesia (GSPI) wilayah Indonesia barat serta Sekretaris Badan Relawan Prabowo (BRP) Provinsi Riau, turut angkat bicara mengenai kasus ini. Beliau meminta aparat penegak hukum untuk memberikan atensi khusus terhadap penegakan hukum dalam kasus ini. “Jangan ada yang berat sebelah atau mempermainkan hukum demi kepentingan tertentu,” tegas Herwin. GSPI mengamati dengan seksama perkembangan kasus ini dan akan terus mengawal proses hukum yang berjalan.

Kasus ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi para pihak yang terlibat langsung, tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi penyelesaian sengketa tanah di Indonesia, di mana kekuatan dan kekuasaan dapat mengalahkan keadilan dan kebenaran.

Kasus sengketa tanah waris Kampung Petrus di Huta Toruan IX Simaung-maung, Tarutung adalah contoh nyata dari kompleksitas persoalan agraria di Indonesia. Diperlukan upaya yang serius dari pemerintah dan pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil dan transparan, serta memberikan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat.

Related posts