MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Gunungkidul – Di lansir dari pemberitaan media online IGTV menyebutkan bahwa Sepak terjang TK seorang oknum Dukuh Karanggumuk II, Kalurahan Kemejing, Kapanewon Semin, Kabupaten Gunungkidul telah mencoreng di Instansi Kalurahan Kemejing, betapa tidak atas dugaan kasus asusila yang dilakukan oleh seorang oknum Dukuh berinisial TK telah mencoreng nama baik Kalurahan dan membuat gaduh. Anehnya perilaku TK sudah diketahui oleh Sugiyarto selaku Lurah Kemejing jauh sebelum kasus ini mencuat.
Namun demikian, hingga dugaan kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum dukuh di Wilayah Kapanewon Semin tersebut menjadi viral, dan lurah tak mampu berbuat apa-apa. Beberapa pihak mengecam, lantaran dalam penyelesaian kasus tersebut tidak melihat keteladanan seorang pemimpin yang seharusnya menjadi panutan.
Sebaliknya publik saat ini bagai disuguhkan sebuah fenomena krisis mental kepemimpinan seorang Lurah yang dalam hal ini terkesan ada pembiaran.
Diketahui, TK Dukuh Karanggumuk II diduga telah meniduri L seorang perempuan bersuami yang tidak lain merupakan warganya sendiri.
Menurut pengakuan L yang disampaikan suami korban, oknum dukuh tersebut telah 8 kali mengajak berhubungan badan, ” Kata L
“Niku pak, kamar kalih ruang tamu. Kejadian di ruang tamu satu kali pak, kamar 7X pak,” ucap N suami korban pada Selasa, (25/02/25).
Suami L menambahkan, bahwa pertama kali melakukan hubungan badan terebut terjadi pada malam satu Suro 2024 silam. Kemudian berlanjut, lantaran oknum dukuh tersebut selalu meminta berhubungan badan lagi, dan terulang sampai 8 kali.
“terjadi antara bulan Juni hingga September 2024,” terangnya.
Hal tersebut dibenarkan Sugiyarto Lurah Kemejing, kepada awak media, pihaknya mengatakan bahwa secara langsung telah menanyakan terkait kejadian tersebut terhadap yang bersangkutan yakni TK.
“Pernah saya menanyakan kepada yang bersangkutan kenapa hal tersebut bisa terjadi? TK malah menjawab bahwa itu dilakukan karena ingin balas dendam,” kata Sugiyarto pada Rabu (26/02/25).
Selanjutnya, pada Jumat (27/02/25) siang, di Kantor Lurah Kemejing, Sugiyarto kembali menegaskan bahwa hal itu ia ketahui sejak kasus pencabulan tersebut belum mencuat.
“Ia itu memang sebelum ini pak, sebelum,… sebelum apanamanya…sebelum… sebelum gempar seperti itu kan pernah saya tanya seperti itu,” kata Sugiyarto dengan nada sedikit gugup.
Melihat kasus tersebut banyak pihak mempertanyakan terkait mental kepemimpinan seorang lurah, mengingat pihaknya justru mangatakan dalam dugaan kasus asusila tersebut tidak ditemukan bukti oleh tim yang dibentuk.
Terlebih, kasus tersebut sebelumnya telah dilakukan mediasi yang juga disaksikan terduga pelaku bersama istri, korban bersama suami, tokoh masyarakat, Bhabinkamtibmas dan juga dirinya selaku lurah.
Bahkan, dalam mediasi tersebut diketahui telah mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang kemudian dituangkan dalam Surat Pernyataan Bersama (SPB).
SPB tertanggal 3 Oktober 2024 tersebut memuat dua keputusan di antara lain:
Saudara Tukino bersedia mengundurkan diri dari jabatan Dukuh Karanggumuk II (tanpa tendensi apapun) Seluruh warga Karanggumuk II menerima keputusan tersebut.
Selanjutnya, SPB ditandatangani oleh kedua korban dan lima orang saksi.
Pasca diadakanya mediasi hingga saat ini, kasus tersebut bukanya selesai, namun makin pelik lantaran berbagai dugaan intrik terjadi.
Salah satunya dengan munculnya rekayasa pengakuan palsu yang diduga didalangi oleh oknum tertentu dengan tujuan mengkaburkan kesanggupan dukuh. Atau sebuah upaya seorang pimpinan lari dari tanggungjawab untuk menunaikan janji terhadap masyarakat.
Belakangan, lurah juga berdalih bahwa tidak ditemukannya bukti, sehingga lurah tampak terbelenggu oleh aturan, dan terkesan tidak mampu berbuat apa-apa karna takut dan tunduk aturan.
Sementara, menyikapi sebuah alat bukti yang dimaksud, baik lurah maupun tim investigasi yang dibentuk masih gamang. bahkan kesepakatan yang telah ditempuh melalui mediasi dianggap tidak berlaku oleh lurah.
“Ya kalau kelanjutan tentang surat perjanjian itu kita ndak bisa apa-apa. Yoo bagi kalurahan ndak ada gunanya itu. Memang itu kepentingan dari pihak korban dan warga masyarakat. Kalau memang dia itu yang menuntut dia bukan kalurahan,” jelas Sugiyarto.
Oleh Pemerintah Kalurahan, keluarga korban maupun pelaku, dan atau masyarakat diminta menyelesaikan sediri kasus tersebut.
Pertanyaan yang menggelitik, lantas di mana peran lurah yang dapat dikatakan melindungi warga “korban”? Ibarat tidak mau tahu dengan nasib korban.*