MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Pekanbaru – Kasus pelaporan yang diajukan Tampe Malem Barus (TMB) kepada Polresta Pekanbaru pada 28 Oktober 2024 terus menyisakan tanda tanya besar terhadap integritas proses hukum di lingkungan Polresta Pekanbaru dan Polda Riau. Berdasarkan investigasi mendalam dan dokumen resmi yang diverifikasi, terungkap indikasi ketidaktransparanan, inkonsistensi prosedur, dan potensi pelanggaran standar hukum dalam penanganan kasus ini. Berikut analisis kritis beserta implikasinya:
I. Kronologi Kasus dan Titik Kritis
1. Laporan Awal dan Penundaan Proses
Pada 28 Oktober 2024, TMB melaporkan kasus dugaan pelanggaran hukum ke Polresta Pekanbaru. Namun, hingga Februari 2025 (4 bulan), status kasus masih berada di tahap penyelidikan tanpa kejelasan. Padahal, menurut UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, penyelidikan maksimal 60 hari dan hanya dapat diperpanjang 30 hari. Polresta beralasan “perlu waktu untuk memeriksa saksi”, tetapi tidak ada bukti tertulis atau jadwal pemeriksaan yang disampaikan kepada TMB.
Dalam pertemuan pendampingan oleh Herwin MT Sagala dan Patrik Tatang (Badan Relawan Prabowo Riau), TMB didampingi bertemu Kanit, Wakasat, dan Kasub Polresta Pekanbaru. Namun, hingga kini, tidak ada progres substansial yang dilaporkan secara resmi.
2. Janji Gelar Perkara yang Gagal Dipenuhi
Polresta Pekanbaru melalui Kasub Ipda Herman Zamroni menjanjikan TMB dapat menghadiri gelar perkara di Polda Riau pada 19 Februari 2025. Namun, TMB tidak diundang dengan alasan kasusnya “digabung dengan kasus lain”. Padahal, Pasal 109 KUHAP menjamin hak pelapor untuk mengetahui perkembangan kasus.
Lebih mencurigakan, pada 20 Februari 2025, TMB diundang ke pertemuan informal di sebuah kedai kopi oleh Kasub dan penyidik. Dalam pertemuan tersebut, penyidik menyatakan status laporan “naik ke penyidikan”, tetapi tidak ada dokumen resmi yang diberikan. Pertemuan di luar kantor ini dinilai melanggar standar prosedur kepolisian.
3. Inkonsistensi SP2HP dan Pengaburan Informasi
Pada 25 Februari 2025, Herwin MT Sagala menjemput dokumen SP2HP (Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan) yang diklaim Polresta terbitkan pada 7 Februari 2025. Namun, dokumen tersebut tidak mencantumkan status penyidikan, padahal dalam pertemuan informal, penyidik menyatakan kasus telah naik ke tahap itu.
Melalui pesan WhatsApp, Ipda Herman Zamroni mengakui bahwa SP2HP tersebut “belum sempat dikirim” dan sedang menunggu rekomendasi Polda Riau. Hal ini memicu pertanyaan:
• Mengapa SP2HP tertanggal 7 Februari tidak dikirim selama 18 hari?
• Apakah ada upaya penguluran waktu atau rekayasa dokumen?
II. Analisis Pelanggaran Prosedur Hukum
1. Pelanggaran Prinsip Due Process
• Gelar Perkara Tanpa Pemberitahuan: Penggabungan gelar perkara tanpa melibatkan pelapor melanggar asas fair trial dan hak korban untuk hadir (Pasal 65 UU No. 8/1981/KUHAP).
• Pertemuan Informal di Kedai Kopi: Proses ini bertentangan dengan Perkap No. 14/2018 tentang SOP Penyidikan yang mewajibkan pertemuan resmi di kantor berwenang.
2. SP2HP sebagai Alat Pengaburan?
SP2HP seharusnya dikeluarkan setelah penyidikan selesai (Pasal 109 KUHAP). Namun, dalam kasus ini:
• SP2HP 7 Februari 2025 tidak mencantumkan status penyidikan.
• Klaim lisan tanpa dokumen resmi melanggar Perkap No. 12/2017 tentang Administrasi Penyidikan.
3. Indikasi Maladministrasi
• Penundaan 4 Bulan Tanpa Kejelasan: Menunjukkan ketidaksungguhan penanganan kasus.
• Dokumen Tidak Akurat: Penerbitan SP2HP dengan tanggal mundur berpotensi melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.
III. Implikasi terhadap Kredibilitas Kepolisian
1. Erosi Kepercayaan Publik
Inkonsistensi prosedur dan pertemuan informal di luar SOP berisiko merusak citra profesionalisme kepolisian, khususnya di Riau. Masyarakat mulai mempertanyakan komitmen institusi ini dalam menegakkan rule of law.
2. Potensi Intervensi Eksternal
Keterlibatan Polda Riau dalam “rekomendasi” untuk SP2HP menimbulkan kecurigaan adanya hierarki yang tidak independen. Jika tidak diinvestigasi transparan, kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di tingkat daerah.
3. Seruan untuk Audit Eksternal
Badan Relawan Prabowo Riau dan pendamping TMB mendesak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengaudit proses hukum ini. Mereka juga meminta Kapolri menindak tegas oknum yang diduga menghambat proses hukum.
Pernyataan Resmi Pihak Terkait
Herwin MT Sagala, pendamping TMB, menegaskan:
“Kami menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh. Jika ada upaya rekayasa, kami akan eskalasi ke tingkat nasional. Masyarakat berhak tahu kebenaran.”
Tuntutan kepada Kepolisian
1. Segera klarifikasi status hukum kasus TMB dengan dokumen resmi.
2. Usut tuntas indikasi maladministrasi di Polresta Pekanbaru dan Polda Riau.
3.Berikan hak TMB untuk mengakses seluruh perkembangan kasus sesuai amanat KUHAP.