Pekerja Korban PHK Dapat Menempuh Jalur Hukum Tuntut Wilmar

banner 468x60

MahesaMediaCenter (Jaringan MSM), Dumai – Pemberhentian tenaga kerja outsourcing di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, terutama UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja termasuk aturan turunannya seperti PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Hal tersebut disampaikan Indra G Haroen, ST., M.Ec.Dev. seorang Peneliti Senior dari lembaga kajian Riset Inovasi Daerah Indonesia (RiDI) yang berkantor pusat di Kota Dumai.

Ditemui awak media, Rabu petang (5/2/2025) dikantornya, master ekonomi pembangunan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengungkapkan bahwa, pada umumnya tenaga kerja lokal tidak memahami dengan baik aturan ketenagakerjaan yang berlaku. “Bahkan, mereka (buruh-red) banyak yang tidak paham dengan isi kontrak kerja yang ditandatanganinya”. Hal tersebut dapat memicu tindakan sewenang-wenang perusahaan atau pemberi kerja, meski perusahaan juga menyadari bahwa ada konsekuensi hukum apabila menyalahi aturan yang berlaku.

Sebagaimana gencar diberitakan sebelumnya, PT. Ganda Prabu Nusantara (PT. GPN) sebagai perusahaan penyedia jasa pengamanan pasca pergantian perusahaan dari PT Banusa di Wilmar yang beroperasi di Kota Dumai, memberhentikan 12 orang tenaga security tanpa kejelasan. “Perihal ini mencuat pada akhir Desember 2024 lalu, ketika mereka (tenaga kerja security-red) mengadukan nasibnya kepada Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kota Dumai” terang Indra.

Permasalahan PHK tenaga security ini juga mendapatkan atensi dari beberapa anggota legislatif yang bersedia memfasilitasi mediasi antara para pekerja korban PHK dengan pihak perusahaan, meski hingga kini belum ada tindak lanjut dalam bentuk pertemuan hearing resmi antar para pihak yang berpolemik.

Aksi nyata justru dilakukan Pasukan Tameng Adat Melayu Kota Dumai sebagai salah satu lembaga otonom yang menjadi kelengkapan institusi Lembaga Adat Melayu Riau, dengan melakukan aksi demonstrasi atau penyampaian pendapat di depan publik pada Senin (13/1/2025) lalu di depan gate PT.Wilmar, Jalan Datuk Laksamana, Kota Dumai.

Tengku Dedek Iskandar selaku Panglima Tameng Adat LAMR Dumai sekaligus sebagai Koordinator Lapangan pada aksi demo tersebut menyampaikan dengan tegas bahwa Tameng Adat LAMR Dumai tidak akan berhenti memperjuangkan dan membela nasib para pekerja tempatan hingga dapat kembali berkerja, serta meminta Polres Kota Dumai untuk mengusut tuntas dugaan pungli yang dilakukan oleh perusahaan dalam proses rekruitmen dan perpanjangan kontrak tenaga kerja.

Aksi massa tersebut menghasilkan 12 kesepakatan bersama antara LAMR Dumai dengan PT. Wilmar sebagai perusahaan pengguna (prinsipal) serta Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) PT.Ganda Prabu Nusantara (GPN) sebagai perusahaan outsourcing, dan turut disaksikan oleh perwakilan TNI/Polri maupun pihak Disnakertrans Kota Dumai. Salah satu isi kesepatakan tersebut, PT.GPN meminta waktu selambatnya 2 minggu untuk memperkerjakan kembali tenaga kerja security yang telah di-PHK sebelumnya.

Namun demikian, setelah lebih 2 minggu berlalu, hingga berita ini diterbitkan, PT. Wilmar dan PT. GPN belum menepati janjinya dengan belum memberikan kejelasan terhadap nasib 12 orang tenaga security asli putra daerah Dumai tersebut, apakah kembali bekerja atau ada opsi kebijakan lainnya yang diputuskan oleh Perusahaan.

Tindakan perusahaan yang mengabadikan dan melanggar kesepakatan bersama itu, telah memicu reaksi keras berbagai pihak, karena perusahaan dinilai telah merendahkan dan melecehkan marwah serta martabat institusi adat tertinggi di Provinsi Riau yaitu LAM-R Dumai, yang berarti juga telah merendahkan dan melecehkan seluruh masyarakat Kota Dumai.

Berbagai organisasi dan elemen masyarakat yang ada di Kota Dumai, seperti Ikatan Pemuda Karya (IPK) Kota Dumai, Lembaga Kajian Riset Inovasi Daerah Indonesia (RiDI), DPC Garda Bangsa Kota Dumai, serta beberapa organisasi dan komunitas lainnya turut memberikan dukungan kepada LAMR Dumai guna melanjutkan advokasi terhadap permasalahan ini. Hal itu disampaikan oleh Datok Akhmad Khadafi sebagai pengurus teras LAMR Dumai yang sekaligus bertindak sebagai Koordinator Umum dalam rapat konsolidasi (Kamis 30/1/2025) di gedung LAMR Dumai guna membahas rencana aksi tindak lanjut Pasukan Tameng Adat LAMR Dumai untuk melakukan aksi demo yang lebih besar dengan melibatkan massa dari Pasukan Tameng Adat dari seluruh Kabupaten Kota se-Riau.

Meski belum diputuskan waktu pasti pelaksanaan demo dimaksud, Datok Akhmad Khadafi menyebut bahwa aksi demo tersebut bakal lebih besar dari sebelumnya karena akan melibatkan Pasukan Tameng Adat se-Provinsi Riau maupun organisasi simpatisan serta berbagai elemen masyarakat Kota Dumai .

Menurut Indra G Haroen, sangat wajar apabila masyarakat adat Kota Dumai bereaksi keras karena merasa telah disepelekan dan dipandang sebelah mata oleh perusahaan. “LAMR itu payung negeri, berfungsi sebagai institusi adat yang memayungi siapa saja yang ada di Kota Dumai, termasuk perusahaan” sebut Peneliti yang saat ini juga sedang mempersiapkan kajian yang mengukur implementasi program CSR perusahaan untuk capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Lebih lanjut Indra menjelaskan, bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga outsourcing memiliki ketentuan khusus, berdasarkan status hubungan kerjanya. Jika berdasarkan PKWT (kontrak) PHK hanya dapat dilakukan jika jangka waktu kontrak telah selesai atau terdapat pelanggaran yang menyebabkan pemutusan kontrak sebelum waktu yang ditentukan, atau perusahaan outsourcing mengalami (force majeure).

“Jika terjadi pemutusan sebelum masa kontrak berakhir tanpa kesalahan pekerja, maka perusahaan outsourcing wajib membayar kompensasi sisa kontrak” sebutnya.

Beliau berpendapat, dalam kasus ketenagakerjaan ini, Perusahaan pengguna (PT. Wilmar) tidak memiliki hubungan langsung dengan para pekerja outsourcing yang telah di PHK, sehingga tanggung jawab PHK berada pada perusahaan outsourcing (PT. GPN). Namun demikian, jika perusahaan outsourcing tidak memenuhi kewajibannya, maka perusahaan pengguna juga dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

“Sejalan dengan prinsip joint liability dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan pengguna memastikan hak-hak pekerja outsourcing terpenuhi, sehingga diharapkan pihak Disnakertrans Kota Dumai sebaiknya agar cepat merespon hal ini dengan segera memfasilitasi para pihak untuk melakukan mediasi, dan apabila memang tidak mencapai kesepakatan, maka sengketa ini dapat dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial bagi Para Pekerja, dan LAMR Dumai juga dapat melakukan berbagai tuntutan Perdata atas kelalaian perusahaan ” tutup Indra. (@PT)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *